Demokrasi?

Ada berapa jeniskah sistem pemerintahan? Mungkin bisa disingkat jdi 3 saja: demokrasi, republik dan monarki.

Demokrasi diterapkan di Yunani masa kuno. Sebenarnya tak seluruh Yunani, hanya beberapa polis saja. Sparta mungkin tak termasuk pengguna demokrasi, namun Athena adalah pemakai tulen demokrasi. Mereka menyebutnya δημοκρατία (dimokratia). Asal kata δήμος (dēmos), ‘rakyat’ dan κράτος (kratos), ‘hukum, kekuatan’. Demokrasi biasa diartikan sebagai ‘pemerintahan rakyat’.

Kalau melihat sejarahnya, pastinya demokrasi zaman Yunani kuno sama sekali berbeda dengan zaman sekarang. Yang paling kentara adalah bahwa di masa itu human right itu tak didefinisikan. Jadi ketika Socrates menyampaikan teori-teorinya yang mengganggu sebagian kalangan, demokrasi lah yang membungkam sang filsuf.

Rakyat yang dimaksud dalam demos, bermakna warga negara. Jadi orang asing tak termasuk. Katanya, itu sebabnya orang Athena bisa memperbudak sesama orang Yunani yang berbeda polis—pemikiran ini saya simpulkan dari Kartun Riwayat Peradaban-nya si Larry Gonick.

Dalam sistemnya, warga negara mengirimkan wakilnya dalam sebuah majelis. Majelis ini yang mengatur kehidupan di polis. Jadi, pemerintahan demokratis sebenarnya adalah pemerintahan kolektif. Yang sekarang ini lazim diterapkan di berbagai negara adalah gabungan antara republik dengan demokrasi, bukan demokrasi murni.

Sebagai selingan, saya tertarik dengan fakta bahwa orang Minangkabau adalah yang pertama kali menerapkan demokrasi di Indonesia (atau bahkan di Asia?). Sistem pemerintahan nagari yang sebenarnya adalah sebuah sistem pemerintahan kolektif, dimana dalam satu nagari kebijakan diambil oleh sekumpulan pemangku adat (niniak mamak) dari berbagai suku yang terdapat dalam nagari yang bersangkutan. Dalam pengembangannya, pimpinan pemerintahan nagari kemudian dilengkapi jadi tungku nan tigo sajarangan, terdiri atas niniak mamak (pemegang gelar adat). alim ulama (para ahli agama Islam) dan cadiak pandai (kaum terpelajar). Dan mengutip satu brainstorm dari almarhum A. A. Navis, cukup menarik untuk menghubungkan sistem pemerintahan ini dengan klaim orang Minang sebagai keturunan Alexander dari Macedonia, sealipun Alexander sendiri tidak menerapkan demokrasi.

Republik, diterapkan oleh orang Romawi pada suatu selang waktu. Belakangan Romawi meninggalkan republik dan menggunakan pola monarki. Dalam republik, pemerintahan dipegang oleh satu orang yang dipilih oleh warga, sesuai dengan asal katanya: res publica yang bermakna ‘milik publik’.

Monarki, merupakan sistem pemerintahan yang dipimpin oleh satu personal. Misalnya, raja, kaisar. Bedanya dengan republik, monarki murni dihasilkan oleh suatu kekuasaan personal. Satu orang kaya dan berpengaruh dapat begitu saja mengumpulkan orang dan kemudian mendeklarasikan dirinya sebagai raja. Di dunia Islam, Umayyah, Abbasiyah dan bahkan Shalahuddin pun melakukan hal semacam ini. Keluarga Umayyah yang keturunan Abu Sufyan menggulingkan kekuasan khulafaurrasyidin terakhir, Ali bin Abi Thalib, kemudian menunjuk diri sebagai “khalifah”. Keluarga Abbasiyah menggulingkan Umayyah dan menunjuk diri sebagai penguasa. Ketika Nuruddin Zanki penguasa Turki meninggal dunia, Shalahuddin al Ayyubi segera mengambil tampuk kekuasaan.

Zaman sekarang ada monarki konstitusional yang menggabungkan demokrasi dengan monarki. Raja tak memiliki wewenang penuh karena sudah dilimpahkan ke perdana mentri yang diawasi oleh majelis. Misalnya di Inggris, Jepang, Malaysia, Thailand.

Tulisan ini saya buat untuk, pertama membuat saya sendiri lebih paham lagi tentang sistem pemerintahan. Kedua, saya baru saja membaca sebuah artikel yang dikirimin teman tentang demokrasi dan keharamannya dalam Islam. Lho?

Satu alasan utama yang saya lihat disampaikan oleh si penulis artikel adalah; demokrasi dibuat oleh manusia. Dan alasan yang paling utama adalah: demokrasi digunakan untuk menjauhkan orang Islam dari Islam. Karena itukah demokrasi haram?

Kenapa monarki dan republik tak diganggu, padahal sama-sama bersumber dari manusia? Penulis artikel tersebut (dan yang ngirimin ke saya) anggota satu kelompok yang cukup sering membanggakan Utsmaniyah, padahal jelas Utsmani itu monarki karena dipimpin oleh seorang sultan.

Ini persoalan definisi. Dan mempersoalkan definisi itu bisa jadi sia-sia, karena ada banyak ragam definisi. Bagaimana kalau kita buat “Demokrasi Islam” seperti orang Iran yang membuat “Republik Islam”—suatu republik yang dipimpin presiden dengan “senat” yang diisi oleh kaum ulama?

Inti dari demokrasi adalah perwakilan, jadi ketika Abu Bakar RA dipilih sebagai khalifah oleh suatu majelis (perwakilan Anshar dan Muhajirin) pasca wafatnya Rasulullah SAW, apakah salah kalau disebutkan ‘kejadian itu adalah satu contoh sistem gabungan republik dan demokrasi’?

Itulah mengapa menurut saya tak ada gunanya memfatwakan sesuatu yang hanya menyangkut soal definisi. Yang paling penting bagi umat Islam bukan itu: mereka butuh pencerdasan, karena itu akan membawa mereka menuju kesejahteraan. Cerdaskanlah umat ini di segala bidang: sains, politik, ekonomi, hukum, budaya, dan—tentu saja—di bidang agama. Kelak mereka akan sadar sendiri apa yang harusnya dilakukan oleh umat Islam mengenai pemerintahan.

Penghujatan atas sebuah “sistem kafir” hanya akan membuat umat ini semakin bodoh. Eropa pernah sedemikian terbelakang karena mereka menolak segala sesuatu yang berlabel “kafir”. Lihat apa yang terjadi ketika Eropa akhirnya mengadopsi kebudayaan Islam yang sebelumnya menurut mereka kafir? Umat Islam memang tak perlu meniru Eropa yang akhirnya memilih sekuler, karena umat Islam harus berpegangan pada dua kitab suci, Al Quran dan Sunnah. Yang dibutuhkan umat Islam hanya sikap open mind.

11 thoughts on “Demokrasi?

  1. diluar topik di atas tapi mungkin berkaitan, kadang saya geli kalau ada hal-hal dari barat sana sedikit-sedikit dihubung2kan dengan yahudi 😀

    padahal budaya dekat kita juga tidak kalah berbahayanya. dan itu asli budaya lokal, contoh REG spasi MANJUR hehehe. maaf makin OOT 😀

    Like

  2. @ Om Cecep Ngadimin: Di dokumenter Islam: Empire of Faith yang ditayangkan MetroTV beberapa waktu lalu, Carole Hillenbrand bilang kebencian atas Barat dan Yahudi semacam itu sebagai salah satu ekses Perang Salib, dan itu wajar karena Perang Salib membawa trauma sangat besar bagi dunia Islam.

    Saya sendiri cenderung sepakat bahwa niat Barat dan Yahudi untuk merusakkan Islam itu memang ada. Hanya saja saya tak suka dengan sikap tak cerdas yang om Cecep sebutkan: menganggap semua yang dari Barat itu Yahudi. Menurut saya, yang seharusnya dilakukan umat Islam adalah mencerdaskan dirinya sendiri dengan sikap open mind. Dan open mind bukan berarti harus ikut-ikut, ya kan?

    Like

  3. Itulah mengapa menurut saya tak ada gunanya memfatwakan sesuatu yang hanya menyangkut soal definisi. Yang paling penting bagi umat Islam bukan itu: mereka butuh pencerdasan, karena itu akan membawa mereka menuju kesejahteraan. Cerdaskanlah umat ini di segala bidang: sains, politik, ekonomi, hukum, budaya, dan—tentu saja—di bidang agama. Kelak mereka akan sadar sendiri apa yang harusnya dilakukan oleh umat Islam mengenai pemerintahan.

    yup setuju banget…….tuulisan yg cerdas menurut sy da edward…..benar sekali.

    Like

  4. Gendang melayu bunyinya lantang,
    Dara di hilir menari Zapin
    Ramadhan berlalu Syawalpun datang
    Mohon maaf lahir & batin

    Berharap padi dalam lesung,
    Yang ada cuma rumpun jerami,
    Harapan hati bertatap langsung,
    Hanya bermimpi dari sini.

    SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1429H.
    Taqobalallahu minna waminkum wataqabbal ya karim.

    Like

  5. Saya setuju sekali dengan pencerdasan kaum muslim, karena dengan kebangkitan berpikirlah kaum muslim dapat bangkit kembali dari keterpurukannya.

    tetapi mengenai permasalahan definisi, saya berpandangan bahwa definisi sangatlah penting sekali. Karena setiap pembahasan apapun baik science maupun fiqh, definisi menjadi acuan dalam memposisikan suatu permasalahan.

    Oleh karena itu dalam fiqh ada yang namanya makna lughawi, makna urf, dan makna syari, dan hal itu sangat penting sekali. Seperti ketika mendefinisikan demokrasi dengan tidak tepat, maka akan memunculkan konklusi yang tidak tepat pula.

    Ketika ingin mendefinisikan makna dari suatu definisi, maka sangat penting mencari kembali arti dari kata dimana istilah itu muncul, seperti pembahasan bung edward mengenai demokrasi diatas.

    Definisi adalah asasnya dari suatu pembahasan, tanpa definisi yang jelas dari halal/haram, maka semua pembahasan hukum islam akan menjadi tidak jelas. Bagi anak2 teknik pasti pernah belajar kalkulus, ternyata dari konsep kalkulus yang cukup ngejlimet tersebut, di bab pertama diajarkan mengenai apa itu bilangan real, bulat, prima, ganjil, genap…padahal itu kan pelajaran anak SMP?? dari hal itu dapat dilihat bahwa, dengan definisi mengenai bilangan yang spesifik dan jelas tersebut maka konsep kalkulus yang rumit dapat ditopang dan dengan definisi tersebutlah kita dapat membuktikan apakah jawaban kita benar apa salah.

    Like

  6. Hmm… betul juga ya. Bahkan yang saya lakukan pun tak jauh dari ‘mencari definisi yang tepat …’

    OK, saya keliru. Makasih pencerahannya mas Ikhsan. Saya koreksi sedikit tulisan saya diatas.

    Tapi tetap, saya tak melihat ada gunanya memfatwakan demokrasi sebagai haram. Dan pertanyaan saya yang menyangkut definisi: “Inti dari demokrasi adalah perwakilan, jadi ketika Abu Bakar RA dipilih sebagai khalifah oleh suatu majelis (perwakilan Anshar dan Muhajirin) pasca wafatnya Rasulullah SAW, apakah salah kalau disebutkan ‘kejadian itu adalah satu contoh sistem gabungan republik dan demokrasi’?” masih berlaku.

    Like

  7. Punten, dalam komentar saya sebelumnya, ada kata “hahah”. Itu seharusnya “halah” sebagai ungkapan uniknya rangkaian kata “tanggapan balik atas tanggapan”. Jadi, saya tidak berniat menertawakan Bang Edwards.

    Like

  8. Demokrasi memang lahir dari sekulerisme, tapi ide ‘demokrasi Islam’ -sebagaimana Republik Islam- telah melekat dalam kepala politisi muslim di negeri ini. Insya Allah. Maka demokrasi ini tak lagi jadi haram!

    Bahkan di Turki kini, Abdullah Gul dan Erdogan pun telah “mengislamkan sekulerisme”. Mereka selalu mengatakan “tetap memegang pilar2 sekulerisme” tapi hasilnya justru berkibarnya kembali Islam di Turki.

    Sama dengan TV dan internet bisa jadi haram, makruh dan mubah, tergantung bagaimana kita memanfaatkannya….

    Like

  9. Bang Choirul, terimakasih tanggapannya.

    Punten, fakta sejarah tidak dapat dijadikan sebagai pembenar klaim kebenaran suatu sistem. Sebagai contoh, maaf, komunisme keliru bukan karena PKI pernah membantai rakyat dan penguasa Indonesia. Kekeliruan komunisme harus dijelaskan dengan landasan normatif. Mengenai pembantaian, itu jelas kebiadaban laurbiasa, tapi sama sekali tidak menunjukkan kesalahan komunisme.

    Selain itu, kondisi masyarakat bukan sumber hukum. Dulu, barangkali, ketika Islam masih mewarnai kehidupan, pelacuran merupakan kejahatan. Kini, ketika Islam tidak lagi “mewarnai” muamalah di Indonesia, apakah pelacuran menjadi “bukan kejahatan”? Kondisi masyarakatlah yang harus disesuaikan dengan hukum, bukan hukum yang harus mengikuti kondisi masyarakat.

    Satu lagi Bang Choirul, perkara kemajuan sains dan teknologi tidak bisa disamakan dengan perkara non-teknis seperti sistem kehidupan. Punten, silakan kalau berkenan berkunjung ke http://gocodealpha.blogspot.com/2008/05/tentang-manusia.html.

    Like

  10. hmm.. numpang komentar..

    awak sih sederhana ajah.. apakah demokrasi itu sekedar sistem pemerintahan?? dalam sebuah sistem pemerintahan yang demokratis, bagaimana sebuah masyarakat diatur??

    awak kira perbedaan pendapat antara orang2 yang mengharamkan demokrasi dan tidak, masalahnya satu.. yaitu kurang lengkapnya premis tentang sistem pemerintahan dalam diskusi mereka..

    maksud wa, mungkin perlu lebih jelas lagi apa itu sistem pemerintahan.. apakah sekedar bagaimana menjalankan aturan, atau lebih dari itu, sampai menciptakan aturan??

    menurut wa, mungkin kk eddy menganggap tidak masalah dengan demokrasi karena pemahaman yang pertama.. tapi kk adnan menganggap masalah demokrasi karena pemahaman demokrasi yang kedua..

    nah apakah orang2 Yunani yang membuat demokrasi pertama kali dulu menjalankan atau sekalian menciptakan aturan juga??

    ato kalo ga mau masalah dengan istilah, ya udah ga usah dipake..
    cuman bikin kesimpulannya jadi: apakah sistem perwakilan yang menciptakan aturan itu haram atu tidak..

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.