Fragmen Galau

Saya pernah tergugah oleh pernyataan teman saya, Isman, bahwa idealitas pemikiran seseorang mungkin sekali bergantung kepada kondisi hidupnya. Maksudnya, pada tingkat kemakmuran orang tersebut. Maka, ketika seorang pedagang gorengan memilih bunuh diri karena melonjaknya harga minyak goreng membuat usahanya hancur dan kehidupannya makin tak menentu, tak ada orang lain yang berhak menyalahkannya.

Secara moral-religius, memang benar bahwa tindakan itu adalah cermin tak adanya idealisme, ketidak-percaya diri-an dan ketidak-dekatannya dengan Sang Pencipta. Namun, secara moral pula tak ada orang yang boleh mencaci tindakannya. Biarlah Allah SWT yang membalasnya, sesuai dengan apa yang menurut-Nya adil. Karena hanya Dia yang Maha Adil!

Saya masih beruntung dapat hidup! Masih bisa makan, menikmati refreshing setiap weekend, kuliah, dan bercita-cita tentang masa depan. Walau demikian, naiknya harga BBM masih membuat kaget. Salah satu efek langsung adalah ongkos angkutan di kota Padang untuk semua jurusan naik Rp 500. Biasanya bus kota cuma 1500, sekarang 2000. Angkot jurusan Pasa Baru — Pasa Raya yang biasanya Rp 2000, sekarang Rp 2500.

Buat saya, biar kaget dan rada berat hati menambah lima ratus, itu memang masih terjangkau—walau saya bukan anak orang kaya, tapi alhamdulillah masih berkecukupan. Namun seringkali ngeri membayangkan mereka yang … “kurang beruntung” dibandingkan saya.

Masih bisakah mereka bercita-cita tentang masa depan? Entah. Di sebuah koran, dinyatakan bahwa seorang petani hanya bisa pasrah, dan berdo’a semoga rezekinya tetap mencukupi. Di koran lain, dinyatakan bahwa nelayan hanya bisa menangis melihat kenyataan bahwa BBM yang seharusnya menjadi hak mereka, ternyata dijual ke orang kaya dengan harga yang lebih mahal. Dan mungkin juga ada lagi yang memilih bunuh diri?

Menyatakan bahwa naiknya harga BBM sekarang ini akan menyelamatkan bangsa ini di masa depan, tampak nonsens. Sebuah bangsa hanya akan selamat kalau rakyatnya makmur. Dan rakyat akan makmur kalau pemerintah serius ngurusin rakyat.

Mungkin ada pertanyaan, gimana bisa ngurusin rakyat kalau duitnya tekor? Tapi nyatanya persoalan bukan pada duit ada atau tidak, melainkan pada kemauan untuk mengelola duit dengan benar. Satu kasus, berapa gaji presiden, ketua DPR, ketua MPR, anggota DPR, gubernur, dan pejabat lainnya per bulan?

Ah… seharusnya gaji mereka cukup dikasih flat rate, dua juta saja per bulan untuk semua pejabat tinggi, dengan demikian pemerintah masih punya sisa duit banyak untuk menyelamatkan rakyat. Menyelamatkan rakyat, bukan menyelamatkan kapitalisme global. Gunakan duit itu untuk membangun sekolah, beliin buku, agar anak Indonesia pintar dan bisa mandiri. Benerin itu jalan raya, biar perdagangan hasil bumi rakyat bisa berkembang.

Ngapain juga presiden dan pejabat dikasih puluhan juta? Inilah pengelolaan keuangan negara yang paling tak ada gunanya. Khalifah Umar bin Abdul Aziz sama sekali tidak kaya saat memimpin sebuah ‘kerajaan’ besar, toh dia tetap bisa mengayomi rakyat! Dan namanya dicatat dengan tinta wangi oleh sejarah…

Umar bin Abdul Aziz punya kemauan untuk merasakan penderitaan rakyat, dan ia menyerahkan harta keluarganya pada negara—walau harta itu adalah haknya sebagai khalifah. Ia mendobrak sistem yang dipakai khalifah2 Umayyah yang bertingkah bak raja-raja Romawi dan Persia yang kemaruk. Beliau syahid, diracun oleh persekongkolan anggota keluarga Umayyah yang pro status quo. Adakah pemimpin yang mau mengikuti jejaknya saat ini?

Apa kabar Lapindo? Apa kabar korban bencana? Apa kabar kasus Munir? Apa kabar kasus korupsi? Apa kabar sekolah rusak? Apa kabar infrastruktur yang terbengkalai? Apa kabar kuliah mahal?

Apa kabar DPR? Asyik ya, bisa jalan-jalan studi banding ke Argentina.

Apa kabar Parpol? Masih asyik berkelahi di internal partai, atau cuma sibuk menyiapkan pemilu tahun depan?

Pak Presiden? Dulu sih kerjaannya nyanyi—kenapa gak sekalian aja ikut Indonesian Idol ya? Atau Mama Mia deh… Minyak sudah dinaikin… sekarang apa lagi Pak?

Pak Ketua MPR? Maaf Pak, saya juga sedikit khawatir … Mudah-mudahan bisa tetap jadi panutan … Saya pikir, sebagai ketua MPR, Bapak tidak usah ikut berkampanye untuk calon kepala daerah dari PKS, walau bapak masih duduk di struktural PKS.

Ketua DPR? Ah… sudahlah… capek saya nulis…

This Post was posted in Uncategorized and tagged . Bookmark the permalink.

3 thoughts on “Fragmen Galau

  1. kalau berbicara gaji, saya setuju dengan Pak Kwik (walau dalam pemikiran lainnya tentang kenaikan BBM saya gak setuju jga).

    gaji presiden, gaji menteri, gaji gubernur & gaji walikota harus diatur ulang.

    gaji presiden yang hanya 60 jt perbulan, gak seimbang dengan beban tanggung jawab yang harus ditanggung sama dia (terlepas dari anggaran sekretariat negara ya). jangan sampe gaji presiden masih dibawah gaji presdir BUMN.

    sebetulnya yang jadi masalah di demokrasi indonesia adalah sumber dana partai. ini sebetulnya yang jadi sumber masalah korupsi. jangan-jangan sekarang naikin bbm utk persiapan anggaran pemilu 😀

    Like

  2. mr. sby emang OK,
    badan besar, cuakep.
    cuekin aje mr. presiden.
    naikin terus aje tuh BBM ampe sama dengan harga internasional.

    SBY aje lah…

    Like

  3. fragmen ini hampir selalau menjadi kegalauan aku dan suami skrg, mengerikan nasib negeri ini…

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.