“Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations”, disingkat INSISTS, merupakan sebuah lembaga think tank yang fokus pada kajian pemikiran dan peradaban Islam. Kantornya di Kalibata, Jakarta Selatan. Saya sudah kenal dan tertarik dengan INSISTS melalui buku dan diskusi mailing-list saat masih kuliah di Bandung, 2002 – 2007. Saya senang dengan bahasan-bahasannya, karena mencerahkan pemahaman Islam secara modern dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Saat beberapa kajian yang saya ikuti cenderung menolak filsafat, INSIST justru secara kritis memanfaatkan filsafat sebagai wahana memperkuat pemahaman Islam serta menjadikannya senjata untuk menghadapi pemikiran yang bertentangan dengan Islam. Hanya saja, saya belum pernah berinteraksi langsung dengan INSISTS ini.
Dan sayangnya, sejak pertama kali jadi penghuni kota Jakarta pada 2012, baru pada 2018 saya tahu bahwa INSISTS mengadakan kajian rutin pekanan di kantornya di Kalibata. Dan baru pada Maret 2019 saya bisa ikut kajiannya yang bertajuk Saturday Forum tersebut. Haha. Alasannya ada sih. Sebelum Maret 2019, saya masih bekerja di tempat yang tidak memberikan libur di hari Sabtu, makanya saya selalu tak bisa hadir. Per Maret 2019 saya sudah bekerja di tempat baru. Sabtu libur. Alhamdulillah, akhirnya bisa ikut.
Sepanjang Maret – April saya sebetulnya hanya mengikuti 3 pertemuan Saturday Forum, dari yang seharusnya ada 8. Tapi tak apa. Alhamdulillah banyak dapat pengetahuan. Berikut ini akan saya rangkum satu per satu. Pertemuan pertama yang saya ikuti, bahasannya tentang Feminisme.
Dilema Moralitas dalam Feminisme [Dr. Dinar Dewi Kania] (23 Maret 2019)
Feminisme merupakan sebuah konsepsi, ideologi, gerakan yang bertujuan mendapatkan definisi dan membentuk suatu kesetaraan gender di semua aspek sosial (politik, ekonomi dan kehidupan personal). Feminisme mrupakan buah dari peradaban barat, sekaligus juga merupakan bentuk kritik terhadap filsafat barat yang bias gender. Lahirnya feminisme dilatarbelakangi oleh pandangan tradisional yang melandasi berbagai pemikiran filsafat Barat, bahwa perempuan cenderung lebih terikat pada tubuhnya daripada pada akalnya. Laki-laki sebaliknya. Perempuan lebih emosional dan irasional. Laki-laki sebaliknya.
Dengan dasar pandangan ini, laki-laki dapat menciptakan kreativitas dan merupakan pembentuk budaya, sedangkan perempuan lebih terasosiasi dengan reproduksi biologis. Lebih jauh, terbentuklah pembagian kerja yang paternalistik: laki-laki mendominasi urusan politik, sosial budaya, agama, sementara perempuan berada di rumah.
Pemikiran-pemikiran filsuf Barat cenderung bias gender. Aristoteles memandang tingkat pandangan keadilan, kebijaksanaan, dan semangat pada perempuan lebih rendah dari laki-laki. Rousseau memandang perempuan terasosiasi dengan ketenangan, kepatuhan dan kesetiaan. Immanuel Kant memandang perempuan memiliki kebajikan yang indah (beatutiful virtue), sementara laki-laki memiliki kebajikan yang mulia (noble virtue).
Pandangan-pandangan seperti itu memberi warna dalam etika (cabang filsafat tentang baik dan buruk/benar dan salah). Perempuan dipandang baik-buruknya dengan cara yang berbeda dengan laki-laki, dan seringkali tidak adil. Misalnya, bidang pekerjaan tertentu diisi laki-laki sementara perempuan merasa bisa mengisi bidang yang sama. Jadi, pada intinya yang diinginkan feminisme adalah kesetaraan gender. Namun sebagai sebuah isme, ia berkembang lebih jauh. Ia sekarang lebih mengarah ke otoritas perempuan terhadap dirinya, termasuk tubuhnya. Otoritas atas tubuh berlaku bagi setiap individu, dan harus dihargai (ethics of care). Perempuan dipandang seharusnya bebas memilih berkarir dan tidak menikah; bebas memilih melakukan aborsi; karena: tubuhnya adalah miliknya.
Sekalipun asalnya merupakan reaksi atas filsafat Barat, kritik juga bisa dengan mudah diteruskan ke prinsip filsafat lain, terutama karena pandangan-pandangan filsafat non-barat cenderung tidak berkembang lebih maju dari filsafat Barat. Bagaimana dengan agama? Wah ini lebih lagi. Feminisme cenderung memandang agama sebagai sebuah institusi paternalistik. Makanya, institusi ataupun aturan yang dibangun oleh agama dipandang sebagai bentuk represi atas otoritas yang dimiliki perempuan.
Isu-isu kontemporer misalnya mengenai pernikahan, aborsi hingga lesbian. Pernikahan dipandang sebagai wadah untuk kekuasaan laki-laki, bahwa setelah menikah perempuan akan berada di bawah kendali laki-laki dan dengan demikian perempuan kehilangan kebebasannya. Dan bahkan, beberapa kasus pernikahan bisa dipandang sebagai perkosaan, karena ada pemaksaan dari laki-laki untuk berhubungan seksual dengan perempuannya. Lalu, karena pandangan “tubuhnya adalah miliknya”, maka perempuan dipandang berhak melakukan apa yang dia pandang perlu bagi tubuhnya tersebut. Maka mereka tak merasa perlu diatur apakah boleh melakukan aborsi atau tidak. Kalaupun mau membatasi, secara medis saja (misalnya, seorang perempuan boleh memilih aborsi kecuali kalau aborsi justru akan membahayakan hidupnya), tak perlu dibatasi dengan moral/etika karena etika membatasi kebebasan pikiran.
Demikian pula dengan pilihan orientasi seksual.
Oh ya. Ethic of care itu juga berlaku pada laki-laki. Jadi, setara. Artinya, laki-laki bebas mau apa dengan dirinya, perempuan bebas mau apa dengan dirinya. Maka tak heran, feminisme seringkali berjalan beriringan dengan liberalisme dan gerakan LGBT.
Tentu saja jadinya bertentangan dengan Islam. Terlebih lagi jika Islam dipandang sebagai sebuah isme yang setara dengan isme-isme lain, yakni sama-sama merupakan sebuah produk kebudayaan atau buah pikiran manusia, maka Islam dipandang sebagai sebuah produk budaya paternalistik yang represif pada perempuan. Gugatan pada konsepsi dan aturan Islam beragam, seperti tata cara shalat, hukum-hukum terhadap wanita, sampai pada relasi pernikahan. Sebetulnya ketidaksinambungannya ada di sini. Feminisme adalah sebuah reaksi atas filsafat umum (barat dan timur) yang cenderung merendahkan perempuan, sedangkan Islam sendiri juga mengkritik pandangan filsafat umum tersebut.
Dilema pada feminisme adalah ketika dihadapkan dengan moralitas, yang dibahas oleh etika. Feminisme akan selalu mengkritik etika, karena etika lahir dari apa yang tampak dan tidak tampak, sedangkan feminisme lahir dari apa yang tampak. Feminisme menekankan otoritas atas diri sendiri, dan ia tidak memberikan sebuah jawaban ketika dihadapkan dengan aktivitas komunal (masyarakat) kecuali satu hal etika feminisme: hargai hak individu.
Dalam Islam, konsepsi etikanya adalah ethic of virtue (etika kebajikan) yang berlaku universal tanpa memandang dia laki-laki atau perempuan; dan filsafat Islam tidak menafikan adanya wahyu, sumber ajaran dari Tuhan. Jadi banyak berbeda dengan filsafat barat. Dasar bagi Islam adalah pengakuan atas entitas ketuhanan (tauhid) dan penyerahan diri pada entitas ketuhanan tersebut (iman). Diri manusia bukanlah miliknya sendiri, melainkan milik Tuhan yang menciptakan. Maka dalam etika Islam, baik dan buruk didasarkan pada bagaimana diri manusia ketika kembali kepada Allah SWT, dan etika itu tidak hanya berlaku pada pribadi saja, melainkan ada etika kelompok. Baik dan buruk pada pribadi berpengaruh pada baik dan buruk pada kelompok (masyarakat), dan parameter baik buruknya telah disampaikan oleh Allah SWT. Parameter etika tersebut ada yang berlaku umum/tidak hanya bagi pemeluk Islam (misalnya tidak mencuri, tidak membunuh, bersikap sopan, memberi bantuan pada yang membutuhkan dll); ada yang berlaku khusus umat Islam saja (shalat, zikir), namun pada akhirnya bagi seorang muslim semua kebaikan yang dikerjakan, atau keburukan yang ditinggalkan, berujung pada “ridha Allah”.
Maka, Islam sebetulnya menawarkan jawaban atas kritik-kritik feminisme terhadap filsafat barat. Etika atau konsep baik dan buruk dalam Islam, misalnya, tidak dibatasi bahwa laki-laki dapat melakukan kebaikan bernilai A dan perempuan hanya dapat melakukan kebaikan bernilai B. Perintah ibadah dan larangan yang diberlakukan sama, nilainya pun sama. Perbedaan pada cara pelaksanaan memang ada, namun hal itu karena adanya perbedaan yang bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya, perempuan dapat mengalami menstruasi dan hamil, sedangkan laki-laki tidak, maka ada perbedaan dalam tata laksana ibadah.
Benar bahwa ada otoritas yang diberikan pada laki-laki, namun ada pembatasan agar otoritas itu tidak disalahgunakan (abuse). Dan lagi, ada satu fakta bahwa abuse juga bisa dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki, misalnya dalam tradisi Islam ada kisah tentang Yusuf yang hendak dipaksa oleh Zulaikha. Kisah yang bermakna bahwa kedua belah pihak hendaklah memiliki virtue yang sama agar sebuah peristiwa terlarang, atau pemaksaan kehendak dan sebagainya, tidak terjadi.
Wallahu a’lam.
Note: Catatan resmi penyelenggara atas kajian dari Dr. Kania serta slide materi yang ditampilkan dapat dibaca di sini.