Mata dan Astronomi

Saya seorang penderita myopi, rabun jauh. Saat ini saya harus menggunakan kacamata dengan “kekuatan” lensa -7, lebih-dari-cukup tebal untuk membuat “orang biasa” langsung pusing ketika mencoba memakai kacamata saya. Saya sudah berkacamata sejak kelas 5 SD, dan kacamata pertama saya -1,25. Mungkin karena terlalu sering membaca, dan saat ini ditambah dengan terlalu seringnya saya di depan layar komputer, kerusakan mata saya terus bertambah.

Pengetesan mata bisa dilakukan dengan astronomi—tentu saja tidak cukup ilmiah atau medically accepted dibandingkan pemeriksaan oleh dokter. Caranya dengan melihat bintang di langit. Terlebih dahulu, kita mesti tahu karakteristik bintangnya.

Percobaan sederhana adalah dengan menggunakan Pleiades, sebuah star cluster terang, berada dekat rasi Taurus dan Orion. Di langit cerah dan polusi cahaya yang minim, mata yang jelek biasanya tidak melihat bintang individual di Pleiades, jadi Pleiades hanya terlihat seperti satu kesatuan saja. Untuk diketahui, Pleiades terdiri atas 7 bintang terang (namanya The Seven Sisters) dan banyak bintang redup. Yang redup-redup hanya bisa dilihat dengan teleskop. 6 (atau 7) bintang terang mestinya bisa dilihat dengan mata telanjang asalkan dalam kondisi langit yang bagus dan mata yang sehat. Tentu saja saya tak bisa melakukannya, pakai kacamata pun saya hanya bisa melihat satu yang paling terang saja.

//daviddarling.info)

Pleiades Cluster, kalau dilihat dengan teleskop. (http://www.daviddarling.info)

Ketika mengadakan acara Astronomi di Denpasar tahun 2005 lalu bersama rekan-rekan Himastron (Himpunan Mahasiswa Astronomi) dan HAAJ (Himpunan Astronomi Amatir Jakarta), kami juga melakukan semacam pengetesan mata. Beberapa rekan dari HAAJ (saya ingat salah satunya Nurdiansyah) menyatakan sudah melihat Venus di langit sebelah barat, padahal Matahari belum lagi tenggelam. Venus ketika itu memang cukup terang sehingga bisa terlihat di langit redup menjelang senja, tapi saya sendiri baru bisa melihatnya persis ketika matahari hendak tenggelam, atau saat langit sudah berwarna kemerahan. Too bad …

Mata yang bagus tampaknya memang harus dimiliki oleh astronom yang suka bekerja dengan mata telanjang. Untungnya, saya lebih suka menggunakan teleskop atau binokuler—mata setengah telanjang (ingat: saya pakai kacamata!) lebih sering saya pakai untuk menikmati keindahan malam sambil merenung, bukan untuk mengidentifikasi benda langit. Dan lagi, saat ini saya di Fisika, bukan Astronomi.

Terinspirasi dari sebuah artikel di rubrik Bob Berman’s Strange Universe, Astronomy Magazine edisi September 2004. Saya beruntung dikirimin 3 edisi majalah ini tanpa harus membayar apapun, padahal harga satu majalahnya US$5,50 di Amerika, dan US$7,95 di Kanada. “Hanya dewa-dewa” yang tahu caranya, hehehe …

5 thoughts on “Mata dan Astronomi

  1. “Hanya dewa-dewa” yang tahu caranya, hehehe …
    >halah… padahal sekarang udah ga bisa yeee 😀

    kalau awak yo masih bisa mancaliak anam bintang, cawar

    Like

  2. @ Anton: Hehehe, dewa palsu gitu. Disumbat jalurnya dah tak bisa apa-apa lagi.
    Masih bisa 6? Mato wak ko paralu dipareso dokter spesialis ko mah. Lah 6 tahun ndak dipareso ka dokter 😦

    @Ilham: tinggal tahu kemana harus melihat saja kk … 😀

    Like

  3. *kunjungan balik*

    wow, jadi bisa ya, tapi kayaknya saya bakal sulit mengidentifikasi bintang itu bitang apa, atau jangan-jangan itu cuma lampu di pesawat 😆 hehehe, sepertinya emang perlu bantuan ahli astronomi kalau mau ngetest pakai cara ini.

    hummm klo gitu mungkin ahli2 astronomi bisa buka klinik mata tandingan :hmmm:

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.