Baliak ka Surau

Kira-kira semenjak reformasi Indonesia 1998 mulai terdengar lagi istilah ‘baliak ka surau‘, beriringan dengan hadirnya istilah ‘baliak ka nagari‘. Baliak ka nagari mencerminkan keinginan masyarakat Minang untuk kembali menggunakan sistem pemerintahan nagari di Sumatera Barat. Semenjak Soeharto berkuasa, sistem pemerintahan daerah di Indonesia diseragamkan dengan desa sebagai satuan terkecil, dan ini menyebabkan rusaknya beberapa aspek budaya Minangkabau. Nagari dan desa jelas jauh berbeda, terutama menyangkut hubungan sosial masyarakatnya.

Baliak ka surau memang berkaitan dengan baliak ka nagari. Berdasarkan apa yang saya pelajari sejak SMP dulu, nagari adalah satuan masyarakat yang terdiri dari beberapa suku (maksudnya suku lokal Minangkabau), dan harus memiliki syarat-syarat tertentu sesuai hukum adat. Diantara syarat itu adalah, setiap nagari wajib memiliki setidaknya satu masjid*. Bukan nagari namanya kalau tak ada masjid sekecil apapun disana. Jadi, baliak ka nagari punya konsekuensi, surau/masjid harus dimakmurkan.

Masyarakat Minang masa lalu – terutama pasca perang Padri – memang masyarakat yang dekat dengan masjid. Anak lelaki baligh harus sering berada di surau (masjid), untuk belajar adat, agama dan ilmu lain. Bahkan mereka dilarang tidur di rumah orang tuanya, dan tidur di surau. Kebiasaan ini yang kemudian memunculkan tokoh-tokoh besar Minangkabau, sebut saja buya Abdul Karim Amrullah dan putranya Buya HAMKA, Haji Agus Salim, M. Natsir.

Masjid Jami' PadangluaDi masa kini, terjadi dekadensi moral terutama di kalangan remaja. Ini menjadi satu pemicu munculnya keinginan untuk menghidupkan kembali masjid sebagai tempat kegiatan. Seruan ini memang banyak disambut positif: kalangan ibu-ibu pengajian antusias sekali, para khatib sering mengangkat tema ini dalam ceramah-ceramah mereka, dan tak ketinggalan pula para pejabat publik mulai dari wali nagari sampai gubernur ramai-ramai membicarakannya. Bahkan, untuk mendukung kampanye baliak ka surau ini, sekolah-sekolah negeri (tingkat SMA) di Sumatera Barat mewajibkan penggunaan pakaian yang menutup aurat.

Itu memang positif. Kebijakan menggunakan busana muslim/muslimah termasuk kebijakan yang dulu sangat saya dukung, bersama teman-teman di Rohis SMAN 3 Bukittinggi. Generasi saya merupakan generasi pertama yang merasakan kebijakan ini, dan bagi saya, suasana sekolah yang penuh jilbab putih cukup meneduhkan, walaupun mayoritas pemakaian jilbab itu hanya untuk memenuhi aturan saja, tidak dihayati.

Hanya saja ada yang sedikit merisaukan. Faktanya kampanye baliak ka surau seringkali hanya retorika. Contoh kasus di nagari saya, dengan satu masjid besar dan tiap tahun menerima sumbangan pembangunan dari perantau. Masjid besar itu sepi, bahkan pada jam-jam shalat. Lalu apa gunanya para khatib membicarakan baliak ka surau dalam khutbah Jumat dan kuliah subuh mereka?

Pun, dekadensi moral remaja tetap menggila. Kota Padang mungkin sudah terbiasa dengan berita mesum nan haram dari pasangan muda-mudi. Kota-kota penting lain seperti Bukittinggi, payakumbuh dan Padang Panjang juga mulai merasakannya. Orang tua jadi risau menghadapi anak-anak remaja mereka. Miras, narkoba, tawuran, pembunuhan, sampah masyarakat, macam-macam lah.

Yang kurang dari kampanye baliak ka surau yang sudah berjalan bertahun-tahun ini adalah tidak adanya pembinaan menyeluruh dan terstruktur. Khatib memang sering berteriak-teriak, namun pendengarnya banyak yang mengangguk-angguk saja. Berbagai aturan dibuat pemerintah, tapi tak mengena di hati masyarakat.

Di Minangkabau ada istilah tungku nan tigo sajarangan (3 tungku tapi sumber panasnya satu). Istilah ini mengacu kepada alim ulama, pemangku adat dan kaum cendekiawan. Ketiga pihak ini bekerja dengan satu maksud: melayani masyarakat. Nah, dalam hal baliak ka surau ini, mestinya 3 pihak ini bisa mengadakan pembinaan menyeluruh. Bukan hanya lewat ceramah agama saja, bukan dari pidato-pidato wali nagari saja, bukan hanya dari opini orang-orang pintar saja. Diantara yang dapat dilakukan, misalnya pendekatan dari rumah ke rumah, memperbanyak kegiatan-kegiatan religius yang bermutu, pengaderan remaja, dan sebagainya. Harus dilakukan dengan kontinyu dan teratur, tidak setengah-setengah seperti yang terjadi saat ini.

nb:
Semoga saya pun dapat mengambil peran dalam pembinaan masyarakat Minang ini. Kalaupun tidak sekarang, kelak ketika tiba saatnya untuk ‘berjuang’ di kampung halaman.

Tulisan ini untuk mengingat ustadz – ustadzah, ikhwah – akhwat kader dakwah di kampung saya. Do’akan saya bisa ‘kembali’ – bukan sekedar kembali dalam artian fisik.

footnote:
*) Menurut AA. Navis, kewajiban ‘satu masjid’ dulunya berarti memang hanya ada satu masjid di setiap nagari, dan tak boleh lebih. Hal ini kemudian berubah ketika ‘kaum tua’ yang terdiri dari para sesepuh mulai sering berbeda pandangan dengan ‘kaum muda’ yang baru pulang belajar di negeri orang. Di masa lalu, Islam yang berkembang di Minangkabau adalah Islam tarekat, terutama Syatari dan Naqsabandi, sedang yang muda banyak terpengaruh pemikiran reformis Al Afghani. Kaum tua melarang kaum muda masuk ke masjid, dan akhirnya kaum muda pun membangun masjid sendiri. Semenjak itu, sering di satu nagari terdapat lebih dari satu masjid.

6 thoughts on “Baliak ka Surau

  1. waduhh….
    Ini post bagus & menggugah banget! Menunjukkan keprihatinan tapi ndak menghakimi 😉

    Baliak ka surau, yoo lah taragak bana kito nan Minangkabau nan Adatnyo basandi Syara’, syara’ basandi Kitabullah.
    Ed, lai buliah kan kalau kito tayangkan juo post iko di web Go-Ranahminang?

    Like

  2. @ Uni Hannie
    Tarimo kasih ni… Silakan dipasang di go ranah minang. Mudah2an ado manfaatnyo 🙂

    Itu gambar masjid di kampuang wak ni, di nagari Padanglua, Banuhampu kab Agam.

    Like

  3. Edwards,
    post iko alah disalin sebagai update Go-Ranahminang. bisa dicek. Makasih yah 🙂
    Iya, mudah2an bermanfaat. Go, Ranahminang, GO!!! 😀

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.